Saif Al Battar
Selasa, 13 Desember 2011 20:20:15
Semoga Allah merahmati anak-anakmu wahai ibu..
Ummu Asy-Syuhada dan kenangannya tentang Falujjah…Akhirnya,
sekelompok ***** bertemu dengan Hajjah “Z.M” yang telah dikenal sebagai
ibunda para syuhada dikarenakan andilnya di perang Falujjah kedua.
Setelah menempuh waktu dua bulan pencarian… Tidak ada seorang pun
yang tertinggal kecuali pasti kami tanyakan tentang UmmuAsy-Syuhadanamun
jawaban yang kami dapatkan simpang siur. Ada yang mengatakania telah
menghilang atau meninggal. Informasi lain menyebutkan ia telah pergi
menuju sebuah perkampungan dipinggir Falujjah untuk melihat anak
perempuannya.
Ummu Asy-Syuhada, umurnya 62 tahun, ibu dari tiga perwira Islam;
Ahmed, Muheeb dan Umar. Putra-putra itu semua telah syahid (Insha Allah)
dalam perang kedua di Falujjah.
Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil di Falujjah
menghabiskan umurnya dengan bekerja bercucuran keringat – meskipun di
usianya yang senja – membuat beberapa sapu untuk kemudian dijual di
daerah-daerah sekitar. Ia menolak semua bantuan yang diberikan padanya
baik dari pedangan dan orang kaya di Falujjah. Iajuga dikenal sebagai
seorang yang doanya senantiasa terkabul. Anda akan menemukan orang-orang
mengunjunginya untuk memintanya mendoakan merekasetiap harinya. Banyak
dari mereka adalah wanita yang akan melahirkan atau mereka yang akan
pergi bersafar, sakit dan bahkan ada pula paramujahidin. Para mujahidin
itu datang padanya sebelum operasi dilakukan, memintanya untuk berdoa
pada Allah agar menepatkan tembakan dan melindungi mereka.
Kami menuju rumahnya dan ia sedang memperbaiki beberapa sapu di
kebun. Kebunnya sempit namun asri dengan pohon palm nan hijau menghiasi
sertalima ekor ayam yang setia menemaninya.
“Assalamu’alaikum, wahai amah (bibi)!”
“Walaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh. Ahlan anakku,
masuklah!.”
Kami masuk kedalam rumah lalu duduk di permadani yang dibuat dari
bulu domba. UmmuAsy-Syuhadamelihat kamera dan buku catatan yang kami
bawa, segeraia meletakkan apa yang ada ditangannya di sisi tubuhnya
sembari berucap ramah: “Selamat datang anakku, apakah ada yang bisa saya
bantu”
“Amah, Kami dari *****, kami ingin mendengar tentangkisah Falujjah
selama peperangan yang kedua dari anda jika tidak keberatan”
Disini UmmuAsy-Syuhadamemandang keheranan dan mengatakan : *****?Dari
mana kalian berasal? Aku tidak pernah mendengar tentang nama itu di
televisi”
“Oh Ummi, itu adalah sebuah situs Islam di internet yang
memperhatikan umat Muslim di Iraq dan negari-negerimuslim lainnya”
UmmuAsy-Syuhadatertawa dan mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak
mengerti apa yang kau katakan. Bagaimanapun, aku persilahkan untuk
bertanya dan aku akan menjawabmu Insha Allah”
“Kami ingin anda bercerita tentang peperangan Falujjah yang kedua”
Secara reflek sang wartawan segera memfokuskan lensa kamera kearah
Ummu Asy-Syuhada, bagaimanapun ia tidak berniat untuk merekam Ummu
Asy-Syuhada.
Sejurus Ummu Asy-Syuhadamengatakan “Wallahi anakku, aku tidak suka
kamera ini. haram bagiku dan aku adalah ibumu, seorang wanita yang
terjaga. Tidak peduli setua apapun aku, aku tetap seorang wanita dan aku
tidak mengizinkan apa yang telah Allah larang untuk wanita”.
Hajjah Zakia UmmuAsy-Syuhada memulai menceritakan kisahnya:
“Aku adalah seorang wanita tua di Falujjah yang percaya bahwa Allah
adalah benar, sehingga Allah memberi cobaan pada hambanya yang perempuan
dan laki-laki…. dan aku memohon dari-Nya semoga ia menerima agar aku
dapat melewati cobaan melelahkan ini, demi Allah.
Suamiku telah wafat sepuluh tahun yang lalu, ia seorang suami yang
sangat baik, semoga Allah merahmatinya. Aku dikaruniai tiga anak
laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Ahmad, Muheeb, Umar
dan Khulood. Ahmad yang tertua, usianya tiga puluh lima tahun disusul
Khulood, Muheeb dan si bungsu Umar. Suamiku dan aku mengabdikan diri
kami untuk membesarkan mereka, memperhatikan mereka dan melihat
pertumbuhan mereka.
Ayah mereka –semoga Allah menempatkannya di Jannah- turun langsung
mendidiksampai mereka dewasa hingga lulus kuliah. Mereka tetap menjaga
kedekatan pada masjid sejak kecil hingga mereka meninggal. Mereka
bergabung dengan kelompok mujahidin di Falujjah setelah berhenti
bekerja.
Kisah ini adalah kisah keluarga yang mengawali kisah Falujjah
sehingga menjadi sebuah cerita yang panjang. Aku akan meringkas kisah
ini karena aku sedang berpuasa dan aku pun memiliki banyak pekerjaan di
rumah, terlebih ada orang-orang yang sudah membayarku untuk memperbaiki
sapu-sapu mereka.
Sepekan sebelum pertempuran kedua di Falujjah, aku bercengkrama
dengan anak-anak laki-lakiku Ahmad, Muheeb dan Umar,semoga Allah
merahmati mereka,di rumah tua kami di daerah Al-Shuhda’a (Asy-Syuhada
-ed). Ketika itu sore hari, kami minum teh bersama-sama. Mereka sedang
mencoba membujukku untuk pergi ke rumah saudari perempuan mereka di
sebuah kampung di luar Falujjah. Mereka mengkhawatirkan keselamatanku
karena pertempuran yang akan datang. Amerika, Syiah dan Kurdis, mereka
bergabung seperti serangga mengepung empat gerbang Falujjah.
Aku menolak usulan ini dan mereka,semoga Allah merahmati mereka,
merengek padakuagar mau pergi, terutama Umar, yang terkecil di antara
anak laki-lakiku. Ia mengatakan padaku: “Wahai ummi, tinggalkanlah
Falujjah dan tinggalkan kami untuk bertempur sementara itu hati kami
tenang akan dirimu. Pergilah, atau aku akan memaksamembawamu dengan
mobil pickup”.
Iama membujukku, semoga Allah merahmatinya. Umar memiliki sifat
periang dan semua teman-temannya mencintainya karena pancaran cahayanya.
Bahkan ia memanggilku hajji bukan hajjah sembari berkata: ”Keberaniamu
adalah untuk pria bukan untuk wanita”
Semua bujuk rayu mereka aku tolak mentah, aku katakan : “Aku akan
tetap tinggal dan memasak untuk mu, untuk kelompokmu dan merawat lukamu.
Aku tidak akan meninggalkan Falujjah selama kamu ada di dalamnya.
Wallahi, aku tidak dapat meniggalkan hatiku di Falujjah dan pergi begitu
saja”
Melihat ketetapanku, mereka meniggalkan ku seorang diri,semoga Allah
merahmati mereka, dan keputusan terakhir kami adalah kami tetap tinggal
di Falujjah sampai akhir pertempuran, baik memperoleh kemenangan maupun
kesyahidan. Alhamdulillah putera-puteraku mendapatkan salah satu yang
kita harapkan, mencapai kesyahidan.
Ahmad, Muheeb dan Umar, masing-masing mereka berada dalam kelompok
yang berbeda dan mereka mendiskusikan diantara mereka sendiri tentang
sebuah rencana untuk tetap menjaga komunikasi selama pertempuran.
Aku mendengar percakapan mereka dengan sedih sebagaimana aku
mengenang mereka ketika mereka masih kanak-kanak, bagaimana ayah mereka
memegang mereka dan bermain dengan mereka, bagaimana mereka tumbuh,
bagaimana mereka melewati bangku sekolah dan diakhiri bagaimana janggut
dan kumis mereka tumbuh.
Sampai-sampai aku mengenang masing-masing dari mereka bagaimana
mereka merencanakan rencana pertama hidup mereka. Aku juga mengenang
kegembiraanku saat hari pertama mereka melangkah, dan ketika gigi
pertama mereka tumbuh dan aku mentahnikkan jari ku pada mereka untuk di
kunyah dan kemudian tertawa pada mereka. Juga hari pertama mereka di
sekolahdengan tas mungil mereka.
Aku menangis dalam sepi, khawatir bercampur keraguan. Sebelumnya aku
yakin bahwa mereka akan syahid dalam pertempuran. “Beritahu padaku, apa
yang anda pikirkan jika semua anak-anakmu meninggal, maka apa yang akan
kau lakukan?”
Dengan kesedihan dan pilu ini, aku tetap berdoa pada Allah bahwa ia
akan mengambil jiwa ku juga sehingga dukaku kan lenyap dan aku tidak
merasakan lagi lara anak-anakku.
Ummu Asy-Syuhada menitikkan air mata yang mengalir jatuh mengikuti
keriput wajahnya, tangisan tanpa suara dan sejujurnya, kami pun menangis
bersama.
Tiba-tiba ia berdiri dan berkata lirih: “Permisi, aku mau melihat
sup, aku khawatir gosong.”
Kami mengetahui ia tidak pergi ke dapur, kami mendengar tangisnya di
sebuah ruangan dengan jendela yang menghadap kebun. Tangisan- yang
berbeda dari tangisan perempuan yang meraung- doa datang dari wanita
renta ini yang memanjatkan:
“Allahuma yang Maha Merajai dan Mengurusi siapa saja orang yang
datang padanya dan janganlah menolak mereka ataupun tidak mengabulkan
permintaan mereka bahkan jika mereka dihukum untuk mati. Ya Allah dan
Engkaulah Raja dari Segala Raja, aku berdiri disini, di pintumu untuk
memohon pada-Mu agar mengambil jiwaku karena kerinduanku pada
putera-puteraku dan suamiku. Tidak satupun yang akan membuatku bertahan
di kehidupan ini. Ya Allah, janganlah menolakku, seorang janda miskin
yang semua puteranya telah tiada. Ya Allah yang Maha Menyanggupi,
janganlah biarkankan aku ternggelam dalam kesedihan.”
Beberapa menit kemudian UmmuAsy-Syuhada kembali, matanya memerah
karena tangis. Ia bersandar pada sebuah tongkat yang tidak ia gunakan
ketika pertama kali tadi kami melihatnya dan seakan tubuhnya ambruk
karena tangisan dan kelemahan. Dengan senang ia mengatakan: “Gas yang
kami gunakan untuk kompor itu telah habis dalam satu hari. Aku yakin
mereka menipu kita dan menjualnya kepada kita dengan harga yang tinggi.
Semoga Allah memaafkan mereka”.Wanita tua itu tidak mengetahui bahwa
kami mendengar tangisan dan doanya.
Ia melanjutkan kisahnya: “Pada tanggal 11 Juli 2004 terjadi pemboman
sporadis dan intensif sebagai upaya untuk menembus benteng Falujjah dari
utara. Mereka melemparkan bom-bom yang sangat menyala. Saat itu pukul
sebelas malam, aku sedang sendirian dirumah dan aku memulai membaca apa
yang aku hafal dari Al-Qur’an sampai aku menyelesaikan semua surat-surat
pendek yang aku hafal. Kemudian aku bangun untuk berdoa pada Allah,
yang pertama untuk kemenangan dan yang kedua agar ia melindungi
putera-puteraku. Aku tidak tertidur malam itu, hingga waktu fajr.
Aku merasa Umar berdiri di dekat kepalaku saat aku berada di atas
sajadah. ia mengatakan padaku : “Oh ummi, aku melihatmu tidak tidur.
Kami semua baik-baik saja dan aku bersama Muheeb dan Ahmad, mereka semua
baik-baik saja dan mereka ingin engkau membuat cukup makanan dan teh
untuk empat belas Mujahidin. Apa yang engkau pikirkan, tidakkah engkau
menginginkan pahala?”
Wallahi, aku sangat bahagia dengan tamu-tamuku sehingga dengan cepat
pergi kedapur dan menyiapkan makanan yang cukup untuk empat belas pria.
Teh dan roti panas aku siapkan dengan cepat.
Aku keluar dengannya dengan cepat ke pintu dan membantunya untuk
membawakan makanan ke dalam mobil. ia mengatakan: “Oh ummi, makan siang
ini atas mu, saudaraku Muheeb menjadi sukarelawan makan siang bagi
Mujahidin Arab.”
Aku sholat Fajar dan berdoa pada Allah agar ia melindungi mereka
semua. Sementara itu Falujjah masih tetap menjadi target serangan
pesawat dan rudal Amerika. Setiap terjadi ledakan, atap diatas kepalaku
seoalah-olah akan runtuh. Aku kembalikan kepada Allah dengan Doa dan
Al-Qur’an. Aku akan menyiapkan makan siang untuk mereka.
Muheeb datang dan mencium tanganku sebagaimana yang biasa ia lakukan.
ia meminta padaku jika saudara-saudaranya datang, mereka harus bertemu
dengannya, penting pesannya. Aku bertanya padanya tentang masalah itu
dan ia menjawab “Ummi, hanya soal sederhana. Tak perlulah engkau
risaukan.”
Segera ia berlalu. Pandangan mataku mengikutinya hingga ia jauh.
Muheebdikaruniai badan yang tinggi dan kekarsemoga Allah merahmatinya.
Hari berikutnya – dan aku telah memanggang lebih dari dua ratus roti
sampai tanganku kelelahan menguleni adonan dan aku pun menyiapkan dua
panci besar nasi dan rebusan – Anak-anakku semua datang dan tinggal
denganku hingga jam satu malam. Aku menciumi mereka seolah-olah mereka
masih kecil dan aku terus memandang mereka dengan erat seolah aku tahu
bahwa aku tidak akan melihat mereka lagi setelah hari itu.
Wallahi, aku tidak akan melupakan ciumanku atas mereka selama aku
hidup. Ayah mereka wafat dan tidak ada satupun didunia ini yang
menggantikannya kecuali anak-anak ini. Wallahi, aku mengenal satu
persatu wangi mereka. Setelah satu jam mereka pergi bersama-sama sembari
membawa makanan, mereka mencium kening dan tanganku dan mengatakan
padaku :
“Wahai ummi, berdoalah untuk kami karena Allah”
Aku katakan pada mereka: “Mengapa engkau bersumpah atas nama Allah,
aku selalu berdoa untukmu siang dan malam”
Mereka menjawab: ”Bukan untuk kami, tetapi untuk seluruh Falujjah”
Mereka pergi dan aku tidak pernah melihat mereka kembali, selamanya…
Falujjah melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat
membuat seseorang gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan
tangisan “Allahu Akbar”, doa dari masjid, serangan dari mujahidin dan
tembakan dari penjajah. Setiap hari aku duduk di ambang pintu rumah, jam
demi jam melihat kearah jalan berharap kedatangan putera-puteraku. Aku
akan bertanya kepada siapapun yang datang di jalan dan berlari kearah
mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda melihat Ahmad,
apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku Umar?”
Ummu Asy-Syuhada kembali menangis.
“Beberapa dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal
anak-anakku dan yang lain mengatakanbahwa mereka tidak melihat. Hanya
ada satu orang yang mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka
berada di daerah Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan
mereka dalam keadaan baik.”
Dia segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga
tersandung dan terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon
padanya untuk menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku.
Akhirnya ia berhenti dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa
mereka baik-baik saja dan tidak ada yang salah dengan mereka
alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat. Aku memiliki pekerjaan
yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat mereka lagi aku
akan menyampaikan salam anda”.
Ia memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu Oh Ibu”,
kemudian ia pergi.
Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12
Desember.Bagaimanapun aku telah memutuskan setelah ini bahwa aku akan
menguatkan hatiku, percaya pada Allah dan melakukan sesuatu untuk
Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak makanan dan
membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga membuat
perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan mengambil
kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di
peperangan. Dan alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke
pertempuran. Jumlah mereka lebih dari dua puluh orang.
Sebelum datang tanggal 12Desember, yakni pada tanggal 9Desember- saya
yakin, sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan
dari anak-anakku- hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat
di sekitar Falujjah, khususnyadipusat kota. Banyak orang syahid sampai
senjata kimia itu pun membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini
menambah kesibukan di pusat kota, dalam beberapa jam puluhan mujahidin
mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar diantara Mujahidin dari sumber
yang mana sampai sekarang masih belum diketahui. Tapi aku meyakini
bahwa hal itu berasal dari seorang agenintel penjajah.
Isu itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid
dalam serangan senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok
menyebar di Falujjah, hanya Allah yang maha mengetahui. Aku mendengar
hal ini dari seorang yang sedangku rawat.
Namun Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika
mereka tiba-tiba muncul ditengah-tengahmujahidin di hari itu. Peristiwa
ini meningkatkan semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar
atas pekerjaan penjajah, hanya Allah yang Maha Tahu.
Pertempuran dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya
melawan aliansi penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada
diantara mujahidin. Aku memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya
suatu hari nanti dengan melihat tiga putra saya.
Kemudian, saat pukul 11 malam tangga 12 Desember 2004 hari ahad,
disana terjadi pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang
mencoba untuk merebut daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat
dekat dengan rumahku dan aku dapat melihat langit menyala memenuhi api,
sebuah pemandangan yang tidak akan aku lupakan di sisa hidupku.
Betapa banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku
mendengar rintihan mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu
berlangsung kira-kira selama 4 jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3dini
hari, atau kurang sedikit. Selama ini serangan Amerika atas daerah ini
gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku mendengar raungan datang
dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat Allah dan ia tidak
berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad rasoolulullah.
Aku bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku
menyeretnya dengan segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada
dan wajahnya. Aku bergegas membawakan air dan membersihkan wajahnya dan
membalut luka-lukanya sampai pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku
pikir ia menangis karena rasa sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia
akan menangis, sehingga aku katakan padanya:
“Percayalah pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat
disembuhkan. Menyadari bahwa anda baik-baik saja adalah hal yang
penting.Subuh semakin dekat, kelompok anda akan segera datang kemari,
mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun biarkan aku pergi dan
melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”
Kali ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin
ditinggalkan seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa
kematiannya sudah dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku
mengatakan bahwa teman-teman yang lain mungkin membutuhkan bantuan, aku
akan pergi dan kembali secepat mungkin.
Aku pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya
di pinggang-. Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka
terlebih dahulu. Benar aku kemudian menemukan seorang korban berikutnya,
orang arab. Aku menyeretnya kedalam rumah dan memulai untuk melakukan
apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran ketika ia menyebutku
dengan sebutan “Oh Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia mengenal ku
padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.
Aku menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka
dari bawah pusarnya, semoga Allah merahmatinya dan ususnya keluar
menjulur. Dia mengatakan kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya
beberapa lumpur dari kebun, garam dan perban. Aku memberinya apa yang ia
inginkan dan kemudian aku kembali keluar kejalan.
Disana aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku
menyeret yang pertama dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di
kebun. Lalu aku mengambil sekop berniat untuk menggali kuburan
untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan rentang kedalaman seadanya
sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku hanya ingin ia
terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang untuk
memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan
syariah.
Setelah aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku
terlalu tua untuk menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan
meter. Namun aku bertawakal kepada Allah dan mengatakan pada diriku
sendiri. Semoga Allah akan melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai
imbalan atas apa yang telah saya lakukan.
Aku keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang
berbadan besar dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari
kakinya. Setelah beberapa menit sampailah akudi kebun rumahku. Disini
aku mulai curigajika aku mengenali syuhada ini – dan kemejanya robek
dibagian belakang – juga baunya sangat aku kenali. Saat itu malam hari
dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat telapak tanganku. Aku
berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera, walaupun sesuatu
yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini karena
pesawat penjajah dapat membom setiap menit.
Ketika aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid
yang berlumuran darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti
tersambar petir. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang
aku seret kali ini tidak lain adalah Muheeb anakku yang kedua!”
Ummu Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Iaberucap: “Wallahi Oh
Muheeb kau mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu
meniggalkanku dan pergi begitu saja”. Kemudian ia tersadar; “inna
lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah merencanakan untuk tidak
menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya saya menangisi
mereka hari ini”.
Kemudian wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku
mengangkat kepalanya dan dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara
dengannya selama sekitar setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku
mengingatnya atas tutur katanya yang baik denganku, kenangan ketika ia
masih kecil dan ia tertidur di pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya
yang indah sebagai mana yang selalu kulakukan. Aku mengatakan padanya:
“Oh Muheeb, aku adalah ibumu….tidurlah oh cahaya mataku, tidur dan
beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!”
Wallahi!Aku tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku
menguburkannya dibawah pohon zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar
ketika ia masih kecil. Aku membuat lubang yang dalam, aku memutuskan
bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.
Di pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam
Muheeb. Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak
menculiknya. Aku menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku
menyadari kedatangan mereka setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku
pergi menemui mereka dan mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah
teman-teman Ahmad dan Umar.
Aku bertanya kepada mereka:”Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad
dan Umar?”
Mereka membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi,
ingatlah mereka dengan Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah
Nizaal dan kami menguburkan mereka di halaman rumah Hajji Khaleel
Al-Fiyaad”
Aku tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu
sampai. Mungkin karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau
karena saat itu aku tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka
wafat dalam keadaanmaju atau mundurdimedan peperangan?”
Salah satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan
mereka menerima pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.
Aku memuji pada Allah dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk
memasuki rumah agar mengambil dua orang yang terlukan dengan mereka.
Ketika mereka memasukinya mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang
arab sudah tidak bernyawa. Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka
membawanya. Mereka menguburkan yang wafat di kebun rumahku.
Mereka terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu
jam. Aku mengatakan bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku
Muheeb dan yang lain, adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan
ia tidak di kuburkan dengan selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu
dari mereka untuk menguburkannya kembali dan membuatkan kuburan yang
lebih layak.
Setelah selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka
mencoba keluar meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari
mereka, tampaknya bukan orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah
kehilangan tiga putera dan kami semua adalah anak-anakmu. Insha Allah
Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”
Kemudian mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah
untuk sholat Dhuha. Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam
berikutnya. Selama waktu itu aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan
menguburkan mereka di kebun rumahku. Hingga kini kebun rumah itu
terdapat tujuh kuburan parasyuhada. Seluruh kebun dan rumah dipenuhi
dengan aroma misk yang belum pernah aku cium sebelumnya. Aroma ini
membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.
Aku tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku
mendapatkan aroma itu di kuburnya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang
menimanganaknya ketika ia sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah
dengan para syuhada selam tujuh hari hingga tanggal 13 Januari 2005,
ketika bulan sabit merah masuk dari arah utara atas izin dari penjajah.
Mereka memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian
di As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para
pekerja sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan
teman-temannya dan mengambil mereka untuk dikuburkan kembali dengan
saudara-saudaranya di pekuburan khusus para syuhada.
Ini adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit
dan pedih. Pula, aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan
mati demi Allah meskipun betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai
ibumu adalah kebanggaan karena ia adalah ibu dari para syuhada.
Umm Asy-Syuhadamengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syairbadui
yang mampu kami tulis. Dia berkata: “Syair untuk para ulama yang selalu
memakai surban di kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua
syair ini. Aku bertanya kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada
hari Anda berdiri di antara penuntut balas dan Maha Kuat?
Bunyi syair beliau seperti ini:
Kami berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat
penderitaan ini
Kami berharap dengan anda (……………….)
Oh ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul
Demi Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai
air mata. Oh ibu para syuhada. Semoga Allah menerima anak-anakmu sebagai
syuhada dan mengumpulkan kamu dengan mereka di surga tertinggi,
Al-Firdaus. Amin.
Garis rapuh tergores dikeningnya
Hanya waktu berpihak
Jemari mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa daya hanya sisa raja dinanti
Garis rapuh terlukis di dahinya
Sang tua berjalan tanpa tandu
Tiada naung peristirahatannya
Berlaku sehari setetes semadu
Garis tua itu Nampak hanyut
Kusut bertabur peluh
Setengah perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh setengah hati
Garis tua itu berontak
Garis tua itu saksi tirani
Garis tua itu berteriak
Mencari upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah kini harapan
Penjajah asa bermuram kelam
Secercah suria kemenangan
Menutup lembaran Fallujah dalam temaram
::: TAMAT :::
(saif al battar/al malhamah/arrahmah.com
Read more: http://arrahmah.com/read/2011/12/13/16797-ibunda-para-syuhada-kisah-nan-pilu-sebuah-kisah-nyata-dari-seorang-ibu-dari-iraq-tentang-perang-falujjah-kedua.html#ixzz1hbSGqcQS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar