SUATU ketika, dalam majelis koordinasi, seorang akhwat berkata
kepada mas’ul dakwahnya, “Akhi, ana gak bisa lagi berinteraksi dengan
akh Fulan.” Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali ia menekan
perasaannya. “Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang
membuat ana merasa risi, dan… Afwan, terus terang juga tersinggung.”
Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu timbul tenggelam, “ikhwan itu
mengatakan… ia jatuh cinta pada ana.”
Mas’ul terbut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha
tetap tenang. “Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin
maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan,”
“Afwan… ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan
itu mungkin tidak pernah berfikir dampak perkataannya. Kata-kata itu
membuat ana sedikit-banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal
menjaga komitmen, dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya
berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini.” Sang akhwat kini
mulai tersedak terbata.
“Ya sudah… Ana berharap anti tetap istiqomah dengan kenyataan ini,
ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini.”
Mas’ul itu membuat keputusan, “ana akan ajak bicara langsung akh
Fulan.”
Beberapa waktu berlalu, ketika akhirnya Mas’ul tersebut mendatangi
Fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, “Ana memang menyatakan hal
tersebut, tapi apakah itu satu kesalahan?”
Sang Mas’ul berusaha menanggapinya searif mungkin. “Ana tidak
menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu.
Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan
perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang
menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya.
Apakah antum menyampaikan ini kepada pembina antum untuk diseriuskan.
Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha
menjaga kemungkinan fitnah dari per-nyataan antum, baik terhadap ikhwah
lain maupun terhadap dakwah???” Mas’ul tersebut membuat penekanan
substansial. “Akhi… bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan
sinetron, atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu
adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah.
Perasaan itulah yang melandasi ekspansidakwah dan jaminan kemuliaan
Allah SWT Petasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat
amanah ini. Maka jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan”.
Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah
diundang dan dikehendaki?
Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam
konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam
konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam
konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah
Rasulullah saw dan jalan meraih Ridho Allah SWT
Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan
prioritas cinta. Jelas, Allah, Rasulullah, dan jihad fii sabilillah
adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah
perasaannya, berkahlah cintanya, dan berkahlah amal yang terwujud oleh
perasaan cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka
tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi
ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenanya jatuh cinta bagi aktivis
dakwah bukan perkara sederhana.
Ketika ikhwan mulai tergetar hatinya terhadap akhwat, dan demikian
sebaliknya, ketika itulah cinta ‘lain’ muncul dalam dirinya. Cinta
inilah yang kita bahas kali ini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan
hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai
yang jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian
menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis,
adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari
kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif’yang dengan
indah dikemukakan oleh ibunda Kartini, “…akan lebih banyak lagi yang
dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada di samping seorang
laki-laki yang cakap… lebih banyak kata saya… daripada yang dapat saya
usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri…”
Cinta memiliki dua mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan
jaminan kesempurnaan agama, dan sisi lainnya adalah gerbang fitnah dan
kehidupan yang sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan
persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri
sendiri, sudah siapkah jatuh cinta.’ Jangan sampai kita lupa, bahwa
segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun
perasaan, adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi
dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas
kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena
memuliakan Islam.
Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta
di atas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa
mengusung pembenahan kepribadian manusia, maka layaklah kita tempatkan
tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi
hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta.
Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta di dewakan, dan
dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun
mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah
persaingan, sengketa, dan eksploitasi ketujuran manusia. Sementara
cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta
jembatan jalan ke Surga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat
tempat di sana.
Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah berbilang
jumlah pengakuan keutamaan kita, buah dakwah yang kita gagas. Sudah
banyak potret keluarga baru dalam masyarakat yang kita tampilkan. Namun
berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih
menjadi topik ‘asing’ dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi, dan
nuansa cinta kita masih terkesan ‘misteri’. Pertanyaan sederhana,
“Gimana sih, kok kamu bisa nikah dengannya, padahal kan baru kenal.
Emang kamu cinta sama dia?”, dapat kita jadikan indikator miskinnya
kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.
Pernyataan ‘Nikah dulu Baru Pacaran’ masih menjadi jargon yang
menyimpan pertanyaan misteri, “Bagaimana caranya, emang bisa?”. Sangat
sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon
tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan,
diskusi, dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan
jargon tersebut.
Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan
cinta dengan wajah yang berbeda. Memberikan alternatif bagi masyarakat
untuk melihat cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai
bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena
taat kepada Sang Penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan,
penyelewengan, dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak.
Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton,
dan seabrek romantika yang berdiri di atas pengkhianatan terhadap
nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.
Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakat tentang cinta
ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga
dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan kepada
akhwat, tentang perhatian seorang akhwat kepada ikhwan, tentang cinta
ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat, dan tentang landasan
dan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih
banyak di buka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut
mekanisme yang menyettainya. Paling tidak gambaran besar yang
menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa
mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga
dakwah hari ini.
Epilog
Setiap kita yang mengaku putra putri Islam, setiap kita yang berjanji
dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna,
maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri
kepada cita-cita tertinggi, syahid fii sabilillah. Inilah perasaan yang
istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan
perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan
Rasulullah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang amanah dakwah
kita. Dengan perasaan inilah kita naik marhalah dalam dakwah dan
pembinaan.
Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini.
Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka
saling tolong-menolong dalam kebaikan. Dengan cinta itu juga meteka
menghiasi bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi
nikmat tersebut dengan lahirnya anak-anak shaleh yang mem-beratkan bumi
dengan kalimat Laa ilaaha illallah. Inilah potret cinta yang sakinah,
mawaddah, warahmah.
Jadi… sudah berani Jatuh Cinta…?
Wallahu ‘alam.
SUMBER : http://mhs.blog.ui.ac.id/herman.pamuji/2009/05/27/ketika-aktivis-dakwah-jatuh-cinta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar